ROHIL, Baranewsriau.com | Sejumlah desa atau kepenghuluan di Kabupaten Rokan Hilir, Riau, menyampaikan kekhawatiran terkait status rangkap jabatan anggota Badan Permusyawaratan Kepenghuluan (BPKep) yang juga tercatat sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) maupun tenaga honorer.
Kekhawatiran itu terutama menyangkut pembayaran gaji dari anggaran desa yang dikhawatirkan berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum di kemudian hari.
Perangkat desa menyebut hingga saat ini belum ada kejelasan resmi dari pemerintah daerah mengenai boleh tidaknya desa membayarkan gaji kepada anggota BPKep yang berstatus ASN PPPK atau honorer.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami berharap pemerintah daerah segera merespons persoalan ini. Ada kekhawatiran jika gaji tersebut dibayarkan, bisa menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari,” ujar salah seorang sekretaris desa di Rohil, Rabu (19/11/2025).
Telah Koordinasi dengan Inspektorat
Sejumlah desa mengaku telah melakukan koordinasi dengan Inspektorat Kabupaten Rokan Hilir.
Berdasarkan penjelasan yang diterima desa, inspektorat meminta agar desa tidak melakukan pembayaran gaji kepada anggota BPKep yang merangkap jabatan sebagai PPPK maupun honorer, karena dinilai tidak sesuai dengan ketentuan kepegawaian dan regulasi pengelolaan anggaran desa.
Dasar Regulasi: UU ASN hingga PP Manajemen PPPK
Larangan rangkap jabatan bagi ASN, termasuk PPPK, berlandaskan ketentuan dalam:
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, yang mengatur bahwa ASN wajib menjalankan tugas berdasarkan perjanjian kerja dan dilarang merangkap jabatan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.
PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK, yang menegaskan bahwa PPPK bekerja berdasarkan perjanjian kerja dengan kewajiban menjalankan tugas secara penuh.
Surat Kementerian Dalam Negeri Nomor 100.3.3.5/1751/BPD (30 April 2025), yang menegaskan bahwa kepala desa, perangkat desa, maupun unsur BPD/BPKep yang lolos PPPK wajib memilih salah satu jabatan.
Surat Kepala BKN Nomor 2302/B-KB.01.01/SD/J/2025, yang menyatakan PPPK tidak dapat menjalankan jabatan lain yang dapat mengganggu target kinerja.
Dalam konteks pemerintahan desa, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan turunannya juga mengatur bahwa perangkat desa tidak boleh merangkap jabatan dengan unsur Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Struktur BPKep di Rohil diakui memiliki fungsi serupa BPD dalam tata kelola pemerintahan desa.
Desa Minta Kepastian BKPSDM Rohil
Meski inspektorat telah memberikan arahan, desa berharap adanya kepastian tertulis dari pemerintah kabupaten, khususnya BKPSDM Rohil, agar pengelolaan keuangan desa tidak menimbulkan temuan audit di masa mendatang.
“Kami hanya butuh kejelasan. Kalau dibayar hari ini, jangan sampai nanti dianggap pelanggaran,”ujar seorang sekretaris desa lainnya.
Sejumlah desa menilai bahwa tanpa kejelasan pemerintah daerah, potensi salah langkah dalam penganggaran bisa terjadi, sementara di sisi lain anggota BPKep tetap menuntut hak berdasarkan aturan lokal yang mereka pahami.
Potensi Konsekuensi Hukum
Beberapa pihak menyebut persoalan rangkap jabatan ini dapat memunculkan beberapa risiko, seperti, temuan inspektorat terkait penggunaan anggaran yang tidak sesuai ketentuan, sanksi kepegawaian bagi PPPK yang rangkap jabatan, dugaan maladministrasi jika pembayaran dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas.
Disisi lain, Kepala BKPSDM Rohil Yulisma melalui Sholihin Kabid Pengadaan Pemberhentian dan Informasi Pegawai (PPIP) menyampaikan “BKPSDM Rohil tetap mengacu kepada regulasi yang ada” pungkasnya, Rabu (19/11/2025) malam. (Mz)
Editor: Redaksi















































